bahasa

Setelah Sidang Tilang (Cerita Pendek)

Tangkapan layar TikTok

Setelah Sidang Tilang

Oleh: PakDSus

Rabu pagi, Marno telah bersiap-siap menghadiri sidang tilang akibat pelanggaran lalu lintas, tidak mengenakan helm.

Marni pun telah bersolek secukupnya. Ia ingin tahu jalannya sidang tilang di Pengadilan. Uang yang dijanjikan sudah ia persiapkan.

“Mas, aku sudah ambil uang untuk mbayar uang tilang. Ini kan salahku, jadi biarlah uang tabunganku dipakai untuk mbayar tilang, ” kata Marni sambil membetulkan letak helm warna pink yang telah menutupi kain kerudung kepalanya.

“Ojo lali klik. Bahaya kalau tidak dipasang talinya, Dik.”

“Nggih, Bos. Ojo lali nanti mampir toko buah. Biar dietku berhasil, ya.”

Kedua suami istri itu bergegas menuju Kantor Pengadilan Negeri Kabupaten.

“Lah, jabul cuman kayak gitu, Mas. Enak mbayar langsung di jalan. Nggak repot,” Marni menggerutu. Waktunya banyak terbuang menunggu giliran sidang.

“Yo, jangan begitu. Kalau mbayar di sini, uangnya masuk ke kas negara. Kalau mbayar di jalan, bisa-bisa masuk kas ibu negara si oknum itu,” kilah Marno.

Mereka melanjutkan perjalanan pulang.

“Mas Mas Mas Mas, stop. Itu ada anggur murah. Sekilo cuman dua puluh ribu!” teriak Marni. Pandangannya tertuju pada tulisan di papan tripleks.

ANGGUR 1 KG 20K

Marno tidak percaya, namun membantah Marni di tengah jalan sama saja membuang energi.

Marni turun dari jok motor.

“Mas, anggurnya sekilo,” pinta Marni kepada pedagang.

Segera sekilo anggur ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah.

“Bu, kurang dua puluh ribu,” kata si penjual ketika menerima pembayaran.

“Kurang bagaimana? Kan harganya 20K. Dua puluh ka itu dua puluh ribu ‘kan?” jawab Marni mendebat penjual buah.

“Iya, Bu, itu setengah kilo,” jelas si penjual.

“Apa? Setengah kilo? Kamu jangan macam-macam ya, Mas. Dari jauh aku baca tulisanmu yang gede itu, he!” Marni yang sudah punya bibit emosi di pengadilan semakin sewot.

“Ibu, coba lihat, bukankah saya tulis satu per dua. Nih, lihat, Bu.”

Penjual buah menunjukkan papan triplek yang tulisannya mereka perdebatkan.

“Jangkrik! Nggak jadi, nih, anggurnya! Heh, Mas, angka duanya mbok sampeyan tulis yang sama besar dengan angka satunya. Ojo mbok tulis sak upil gitu!” semprot Marni.

“Tidak bisa, Bu. Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Itu tulisannya,” jawab penjual buah sambil menunjuk kertas stiker di pojok triplek.

Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan

Di atas jok motor Marno pura-pura tidak tahu dan tidak ingin ikut campur meskipun praktik akal-akalan pedagang itu menimpa sang istri.

“Gimana, to, Mas Marno. Sampeyan kok diam saja. Habis duitku untuk beli anggur sekilo ini,’ gerutu Marni sambil membuka dompet dan mengambil dua lembar pecahan sepuluh ribuan, lembaran yang masih tersisa dalam dompetnya yang terbuat dari tiruan kulit buaya.

“He, Mas Jangkrik! Kali ini aku ngaku kena dan jadi korban akal-akalanmu. Terimalah empat puluh ribu terakhirmu karena akan aku teriaki sepanjang jalan agar orang-orang tidak beli anggur di lapakmu!’

Selesai bicara Marni berlari kecil, membawa tubuh tambunnya menuju motor.

“Ayo, Mas. Mangkat. Alon-alon, aku mau mbengoki orang-orang biar tidak beli dan jadi korban seperti aku!”

Penuh emosi Marni mengungkapkan kekesalannya.

“Sudah, to, Dik. Kan ini, ya, salahmu sendiri tidak teliti. Kaya nggak pake helm tempo hari kan salahmu sendiri, to?”

“Meneng, Mas. Biar saja, aku emosi tenan,” jawab Murni sewot.

Belum sempat Murni berteriak kepada ibu-ibu di pasar, sepeda motor bebek itu dilajukan Marno kencang-kencang.

“Maaas!”

Semarang, 7 Oktober 2024

Susanto

Pendidik, Ayah 4 Orang Anak, Blogger, Penikmat Musik Keroncong.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *