artikel

Jangan Berhenti Menulis, Jangan Berhenti Mengabadikan

Jangan berhenti menulis
Dok. Pribadi by Canva

Tulisan di blog ini, jika tidak salah menghitung, sudah ada sekitar 720 judul. Belum banyak, sih. Pun tidak semuanya bagus atau bermanfaat menurut para pembaca. Namun, dengan adanya tulisan ini saya membuktikan bahwa ternyata saya bisa menulis.

Jika teman-teman bertanya bagaimana cara jadi penulis? Saya agak bingung menjawabnya. Akan tetapi, jika diubah dengan kalimat, “Mengapa saya menulis?” maka izinkan saya bercerita.

Setiap kita, hampir setiap hari disibukkan dengan kegiatan membaca dan menulis. Kita mungkin membaca papan nama, papan petunjuk, baliho, membaca aturan meminum obat, membaca pesan WA, atau membaca pesan di media sosial lainnya. Demikian pula ketika menulis.

Sebagian besar kita menulis status di media sosial, menjawab pesan, memberi komentar, membuat surat izin untuk anaknya, menulis surat lamaran, dan sebagainya. Semuanya menulis. Tidak sembarang menulis. Ada pesan yang ingin disampaikan melalui rangkaian kata-kata.

Seseorang menulis perasaan, kegalauan hati, atau pemikiran di media sosial. Ia tulis sebagai sebuah cuitan di Twiter, sebagai status WA atau Facebook dan cuitan itu dibagikan kembali oleh pembaca kepada teman-teman mayanya maka orang itu pasti akan dikenal. Jika ia pemusik, tentu akan membantunya dalam perjalanan bermusiknya. Branding dirinya pun akan meningkat.

Dalam sebuah video yang saya tonton, seorang narator menceritakan tentang kecintaannya pada dunia tulis-menulis itu. Katanya, ketika itu ia berada di Masohi, Maluku, tepatnya di pulau Seram. Nah, di sana, sang narator berdiskusi dengan beberapa mahasiswa. Salah seorang mahasiswa yang berdialog dengannya adalah mahasiswa yang sangat kritis, apalagi tentang dunia politik. Sang narator mengetahui koleksi buku si mahasiswa. Akhirnya, ia pun mengerti dari mana pemikiran kritis mahasiswa itu berasal.

Pada kesempatan itu, si mahasiswa menghadiahkan kepada sang narator sebuah buku itu berjudul “Anak Semua Bangsa” buah pena Pramoedya Ananta Toer.

Dalam perjalanan panjang dari Maluku menggunakan kapal  Pelni, sang narator mulai membaca buku hadiah dari teman mahasiswanya itu. Belakangan ia tahu bahwa buku tersebut adalah seri kedua dari empat buku tetralogi Buru karya Pram yang terkenal.

Dalam buku itu, tokoh Minke yang diciptakan Pram ini sangat menginspirasi hingga sang narator tiba pada kesadaran bahwa dalam sebuah perjalanan, hal yang bisa menyelamatkannya dari kebosanan adalah buku.

Gambarannya begini. Berlayar di tengah laut hampir dipastikan tidak menemukan sinyal internet. Dus, tidak akan data yang bisa diakses. Di tengah laut, di kolong langit yang dibatasi cakrawala, di tengah ketiadaan akses internet, hanya ada sedikit hal yang bisa dilakukan. Apa itu? Yup, mengobrol dengan orang-orang di sekeliling jika mau. Jika tidak mau, maka mendengarkan lagu. Itu pun jika dan hanya jika daya baterai hape masih ada. Jika kedua hal itu tidak dapat dilakukan, hal paling mungkin untuk membunuh jenuh adalah membaca buku atau menulis apa yang dipikirkan.

Ketika sang narator membaca buku pemberian si mahasiswa, ia paham bahwa Pramudya Ananta Toer menulis buku Anak Semua Bangsa dan tiga buku lainnya ketia berada di pengasingan. Tempat pengasingannya di Pulau Buru. Jika berada di kapal selama berjam-jam melintas lautan, meniti ombak dianalogikan sebagai tempat pengasingan karena tidak adanya jaringan internet, menulis adalah keniscayaan. Oleh karena itu, sambil membaca, tumbuh kecintaannya pada kegiatan membaca buku dan menulis.

Jika menulis di Twiter dibatasi oleh banyak karakter maka berbekal buku hadiah sang teman dalam perjalanan panjang membuatnya terbiasa menulis dengan lebih panjang. Ungkapan perasaannya kemudian ia tuangkan di kertas.

Ia termotivasi dan menggebu-gebu untuk menulis. Hal pertama yang ia tulis adalah kisah perjalanannya menyusuri Indonesia. Berlembar-lembar dan akhirnya dibuat sebagai naskah sebuah buku. Kemudian, ia menyodorkannya kepada penerbit. Sayangnya, dari belasan penerbit yang ia hubungi, semuanya menolak naskahnya. Ia tahu diri. Karena itu benar-benar awal ia menulis panjang. Secara jujur sang narator bercerita bahwa ketika ia melihat lagi tulisannya di kemudian hari, ia merasa tulisannya parah banget. Keparahan yang ia maksud misalnya, diksi masih kacau dan kalimatnya belum fokus.

Namun, apakah itu membuatnya berhenti menulis? Tidak. Sebagai pemusik, sembari manggung ia terus menuliskan pemikirannya. Kadang membagikannya di Twitter, Blog, Facebook, atau menjadikannya caption Instagram. Akhirnya, orang-orang yang tadinya tahu dirinya sebatas seorang musikus, menjadi tahu bahwa ia juga suka menulis.

Pada akhir video ia kembali mengusik pertanyaan tentang mengapa kita harus menulis. Jawabannya sesederhana ketika ditanya mengapa memotret atau merekam video. Tujuan itu semua adalah mengabadikan momen.

Manusia adalah makhluk sempurna namun sangat pelupa. Di lain sisi, sebagian orang tidak ingin dilupakan oleh orang lain. Seorang guru menulis saya mengatakan bahwa tuturan lisan mudah dilupakan, namun tulisan akan abadi dan dikenang orang. Apa pun medianya.

Jadi, untuk mengabadikan momentum-momentum dalam hidup dan kehidupan, saya harus menulis. Blog adalah media termurah yang bisa digunakan untuk mengabadikan momen tersebut. Tulisan yang terserak di blog dapat dikumpulkan dan dibendel menjadi buku.

Jangan bertanya, bagaimana cara menjadi penulis? Sebab, pertanyaan itu hanya keluar dari orang yang tidak mau membaca tulisan orang lain. Semakin banyak membaca tulisan orang lain, akan semakin banyak pula yang ingin kita keluarkan dari pikiran atau hati kita.

Membaca untuk mengetahui apa saja yang ada pada masa lalu dan menulis untuk memberi tahu kepada mereka yang terjadi pada masa kini. Masa kini adalah masa yang akan menjadi masa lalu bagi anak cucu kita kelak.

So, jangan berhenti menulis dan jangan berhenti mengabadikan.

Salam literasi, Salam Blogger Sehat, Salam Pembelajar

PakDSus

Susanto

Pendidik, Ayah 4 Orang Anak, Blogger, Penikmat Musik Keroncong.