BLOG SUSANTO

Blognya Pendidik yang Mencintai Pendidikan dan Pembelajaran

bahasa

Mega, Lintang, dan Buana

Pak Eko memacu kendaraan bermotornya lambat-lambat. Ia ingin mendengar cerita Mega, bocah kelas lima yang siang ini gagal berlatih AKM pada laman Pusmenjar, Kemdikbud. Mega pulang ke rumah diboncengkan Pak Eko karena ibunya akan menjemput satu jam kemudian.

Mega bersama kelompok belajarnya, hari ini berlatih mengisi soal AKM dengan laptop milik Pak Eko. Sebagian besar murid kelas lima tidak mempunyai laptop. Sementara, bulan Oktober dan November akan simulasi dan melaksanakan ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer). Oleh karena itu, Pak Eko menyisihkan waktunya untuk melatih anak-anak kelas lima memegang tetikus (mouse), berlatih mengetik kalimat, dan tentu saja berlatih mengisi soal AKM pada laman Pusat Asesmen dan Pembelajaran (Pusmenjar) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

 

“Kenapa Mega bilang tidak mau berlatih bersama kelompok Lintang dan Buana?” tanya Pak Eko.

Di kelas tadi, sambil menunggu sambungan internet yang tidak kunjung membaik, Mega dan kelompoknya sempat mengeluh agar jangan digabungkan dengan kelompok Lintang dan Buana.

Dari jok bagian belakang motor Pak Eko, Mega menjawab, “Mereka omongannya nggak enak, Pak.”

“Nggak enak bagaimana?” tanya Pak Eko penasaran.

“Ya, itu. Kadang mereka omongannya saru-saru¹,” jawab Mega.

“Saru, bagimana? Jorok?” tanya Pak Eko kembali sambil membelokkan setang motor. Ada lubang kecil tetapi dalam di jalan itu.

“Ya, kadang jorok. Kadang sok, Pak. Mereka juga sering nge-bos², nggak mau piket. Terus, kalau kami lagi diam, mereka ngata-ngatain. Kadang, malah ngajak gelut³, “ cerita Mega panjang lebar.

“Lalu, kamu ladeni?” tanya Pak Eko lebih lanjut.

“Ya, kadang kalau kesabaran saya sudah habis, saya lawan,” jawab Mega sambal tertawa kecil.

Rumah Pak Eko melewati kampung tempat tinggal beberapa orang muridnya. Jadi, jika ia pulang sekolah melihat anak yang berjalan kaki karena belum dijemput orang tuanya, Pak Eko sering menawarkan diri memboncengkan. Apalagi, Mega. Orang tuanya baru akan menjemput sejam kemudian. Mereka tahunya Mega sedang les di sekolah.

“Mega bisa juga kehabisan kesabaran?” tanya Pak Eko sambil tetap fokus mengendari motornya.

“Iyalah, Pak!” setengah berteriak Mega menjawab karena ada truk besar berpapasan dengan motor mereka.

“Katamu, Lintang dengan Buana ngajakin kamu berkelahi. Bagaimana ceritanya? Apa yang mereka katakan?” tanya Pak Eko penuh selidik.

“Ya, itu. Gelut, yuk! Begitu katanya. Saya pun membalas karena kesabaran saya sudah habis, Pak,” cerita Mega.

Sepeda motor Pak Eko sudah melewati dua tikungan. Dari kejauhan, rumah tetangga Mega sudah terlihat.

“O, iya. Kamu turun di mana? Katanya dekat rumah Deca? Itu, rumah Deca sudah kelihatan,” tanya Pak Eko ketika ia melihat rumah Deca, murid kelas enam yang sudah lulus tahun ini.

“O, iya. Turun sini saja,” jawab Mega.

“Makasih ya, Pak. Tapi, cerita ini jangan diceritakan ke siapa-siapa. Apalagi diceritakan ke Lintang sama Buana, Pak!” ucap Mega setelah turun dari motor. Ia berterima kasih sambil memohon agar ceritanya tidak diberitahukan kepada siapa-siapa, terutama kepada Lintang dan Buana.

***

Sejatinya, Pak Eko bukan guru kelas lima. Oleh kepala sekolah ia ditugaskan untuk membimbing anak-anak kelas lima yang tahun ini akan AKM menggunakan komputer. Guru yang lain kebanyakan perempuan dan sudah lanjut. Mereka pun tidak begitu menguasai teknologi anak-anak milenial itu.

“Aku nggak bisa laptop, Pak,” kata mereka suatu ketika.

Siang itu, sejatinya Mega dan kelompoknya mendapat giliran berlatih mengoperasikan laptop. Mereka juga berlatih menjawab soal-soal AKM dengan laptop agar ketika pelaksanaan yang sesungguhnya, mereka sudah terbiasa.

Lintang dan Buana belum mendapat giliran. Giliran mereka adalah pada hari Sabtu siang. Namun, karena sambungan internet siang itu kurang bagus, Mega dan kawan-kawan gagal berlatih. Pak Eko merencakan akan menggabungkannya dengan kelompok Lintang dan Buana pada hari Sabtu.

Setelah mendengar cerita Mega ketika berboncengan, Pak Eko merasa penasaran.

“Lintang, Buana, giliran kamu hari Sabtu siang, ya!” seru Pak Eko kepada Lintang dan Buana. Mereka bercakap di bawah pepohonan rindang depan ruang guru.

Hampir serempak, Lintang dan Buana menjawab, “Iya, Pak!”

“Aku sudah biasa main laptop, Pak. Kecil kalau cuman ngeklik aja,” timpal Buana dengan nada jumawa.

“Iya, Pak. Kadang kalau kakak aku selesai mengetik, aku suka pinjam untuk main game,” kata Lintang tidak mau kalah.

Ada aroma kesombongan pada kedua anak itu, begitu pikir Pak Eko dalam hati.

“Syukurlah, jika kalian sudah pada pandai. Malah pak Eko senang. Kalian bisa mengajari teman-teman yang lain,” kata Pak Eko sambil tersenyum.

“Ah, males! Mereka gaptek, Pak!” kata Lintang lantang.

Dug! Tiba-tiba Jantung Pak Eko berdegub. Ia tidak menyangka Lintang akan berkata seperti itu.

“Lintang …,” kata Pak Eko perlahan.

“Justru sebaliknya. Karena sudah pandai lebih dahulu, kita wajib mengajari teman-teman agar mereka juga pandai seperti kita. Tidak rugi, kok. Bahkan kita untung,” nasihat Pak Eko.

“Kok untung, Pak? Ya, rugilah. Mereka tidak modal, kepandaiannya sama dengan kita,” timpal Buana bernada ketus.

“Lintang, Buana, dengar, ya. Membagikan ilmu itu tidak akan pernah rugi. Pertama, kita mendapat pahala. Jika ilmu diajarkan kepada orang lain, lalu mereka masih mengamalkannya sedangkan kita sudah meninggal, pahala amal itu tidak akan pernah putus. Begitu ‘kan bu Ika, guru PAI kita, mengajari? Kedua, kepandaian kita tidak akan berkurang, bahkan bertambah. Kita semakin paham dengan apa yang kita ajarkan. Kalian pun akan mendapat nama baik yang akan dikenang sepanjang masa, terutama oleh mereka yang kalian ajari,” kata Pak Eko panjang lebar.

Lintang dan Buana pun terdiam. Mereka mencoba memahami kata-kata guru kelas enam itu.

“Nah, begini saja. Kalau kemarin hanya memakai satu laptop, hari Sabtu yang akan datang kita gunakan tiga laptop. Nah, biar Lintang dan Buana makin hebat, sesudah belajar dengan Bu Tugiyem, kamu berdua ke kantor. Di sana sudah ada dua laptop yang siap digunakan. Kalian berdua berlatih dengan laptop itu. Sabtu nanti Lintang dan Buana membantu pak Eko, ya!” bujuk Pak Eko.

“Ya, Pak,” jawab Lintang.

“Ya, Pak,” Buana menyusul menjawab.

Kedua anak itu berlari masuk ke kelas. Ada benang merah cerita Mega dengan karakter kedua anak itu. Pak Eko pun menghela napas panjang sambil berjalan kembali ke ruang guru.

 

Musi Rawas, 23 September 2021

***

¹) tidak senonoh
²) bertingkah seperti seorang bos
³) berkelahi

Susanto

Pendidik, Ayah 4 Orang Anak, Blogger, Penikmat Musik Keroncong.

8 thoughts on “Mega, Lintang, dan Buana

  • Pak Rif Guru SD

    Cerpennya keren. Ditulis sekali duduk. Dengan kondisi yang sesuai kenyataan saat ini mengenai AKM, peserta didik dan penguasaan teknologi kalangan milenial. Ada pesan positif yg luar biasa pula.ngefans.

  • Wah Mega, Lintang dan Buana menjadi tokoh dalam cerpen anak yang penuh makna. Sip. Saya belum bisa out of the box.

  • Wah keren mantap ceritanya, kapan aku bisa seperti itu ya.

  • AAM NURHASANAH

    Cerpen yang menarik. Mantap terus Pak D

  • Cerpen anak… Pelajaran yang begitu berharga untuk jita semua. Terimakasih Pak Eko… Eeh Pak D..

  • Aku suka cerpennya. Ada pembelajaran yg tersirat dalam cerpen ini. Dan cerita ini nyata adanya. Sering kita menemukan anak yg malas berbagi ilmu dan sombong. Siiip Pa D. Aku tunggu cerpen berikutnya.

  • Keren Pak. Ini yg saya tunggu. Memang piawai memulis cerpen anak ni Pak D, mantap..!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *