BLOG SUSANTO

Blognya Pendidik yang Mencintai Pendidikan dan Pembelajaran

artikel

Pelajaran Hidup Hari Ini

Sumber gambar: pixabay.com

 

Setiap hari, kehidupan yang kita jalani mengandung banyak sekali pelajaran. Dalam bahasa religius Islam dinamakan i’tibar yang dibakukan dalam bahasa Indonesia menjadi iktibar. Iktibar adalah contoh atau pengajaran. Seperti peristiwa kematian tetangga siang tadi. Tanpa bermaksud bergibah atau membicarakan keburukan (keaiban) orang lain, saya ingin cerita ini menjadi iktibar bagi saya dan pembaca pada umumnya.

Sebut saja Pak Fulan. Lelaki yang sudah tidak beristri itu saya kenal sekilas. Tidak begitu akrab, meskipun sebagai tetangga saya mengenalnya. Beberapa kali berkumpul dengannya ketika ronda malam digiatkan. Sebelum berkeliling kampung, Pak Fulan kadang bergabung, dan mengobrol bersama kami.

Demikian pula ketika ada kerja bakti atau gotong royong membersihkan parit di kampung. Pada saat istirahat menikmati kudapan ala kadar, pada saat itulah saya bisa bercakap-cakap, sesekali bersenda gurau. Hal lain yang menyebabkan saya dengannya bertemu muka dan ngobrol juga, adalah peristiwa hajatan atau kematian tetangga. Selebihnya, hanya berpapasan muka. Saling sapa, sesudah itu sibuk dengan urusan masing-masing.

Karena tidak terlalu akrab, saya pun tidak tahu bahwa Pak Fulan yang lama tidak kelihatan ternyata sakit. Kondisinya yang terbaring lemah, membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa. Jangankan untuk bekerja, untuk menolong dirinya sendiri pun tidak mampu. Hidup sebatang kara, dalam keadaan sakit, tentu membuat iba sesama.

Iuran Warga Meringankan Tetangga

Sejak saya tinggal di kampung D. Tegalrejo, saya tahu ada tradisi yang berjalan dengan baik sekali. Tradisi itu adalah menjenguk tetangga yang sakit di rumah sakit beramai-ramai, namun bergantian setiap hari. Itu terjadi sebelum pandemi Covid-19. Setelah pandemi Covid-19 kebiasaan itu masih dilakukan. Namun, jika dirawat di rumah sakit, sesuai anjuran pemerintah, kami tidak menjenguknya beramai-ramai.

Tradisi berikutnya adalah berdonasi. Jika ada tetangga atau anak tetangga sakit, terutama yang berasal dari keluarga ekonomi lemah, kami berdonasi seikhlasnya. Ada satu dua orang relawan yang berkeliling, mengetuk setiap pintu rumah untuk meminta sumbangan. Setiap penyumbang diminta untuk mengisi nama, besar uang dan tanda tangan. Hal ini dilakukan semata-mata demi ketransparanan penggunaan dana.

Setelah dana terkumpul, dana tersebut diserahkan kepada ahli musibah utuh, tanpa potongan apa pun. Tidak ada upah bagi relawan yang berkeliling mengumpulkan dana. Semua dilakukan dengan ikhlas. Demikian pula ketika Pak Fulan ini sakit. Kondisi Pak Fulan yang papa lagi sebatang kara membuat tetangga bahu-membahu meringankan penderitaannya.

Ada yang mengirimkan makanan, obat-obatan ringan, ada juga tetangga yang membantu dengan menyumbangkan tenaga merawat dirinya pada siang hari. Rasa salut dan hormat saya berikan kepada teman-teman saya: Mas Priyanto, Bang Syafri, dan Mas Wawa. Berkat merekalah, kami warga kampung 2, diajak beriuran, mengumpulkan dana untuk membiayai Pak Fulan berobat. Selebihnya digunakan untuk membeli makanan. Saya tidak tahu berapa uang yang terkumpul. Yang jelas, meskipun tidak mencukupi untuk mengurus Pak Fulan, uang iuran tersebut sudah meringankan Mas Pri dan kawan-kawan.

Kabar Duka, Pak Fulan Meninggal Dunia

Hari ini, Hari pertama istri berada di rumah lagi. Seminggu sebelumnya, ia bersama beberapa temannya mengikuti kursus pembina pramuka. Jujur sajalah, sejak ditinggal ibunya anak-anak, kondisi rumah tidak begitu terawat. Apalagi berdua dengan anak lelaki berusia empat belas tahun yang lebih asyik mengurus pelajaran daringnya dari pada membantu menyapu atau mencuci piring.

Oleh karena itu, hari Minggu ini saya manfaatkan untuk membantu istri merapikan rumah. Ha ha … selain itu, tentu trik agar komentar tentang keadaan rumah yang berantakan tidak berkepanjangan. Selesai beres-beres, sekitar waktu Zuhur, saya pun beristirahat. Tertidur pulas. Ketika azan Asar berkumandang saya dibangunkan.

“Mas, bangun. Mang Fulan meninggal, tuh sudah banyak bapak-bapak yang bertakziah,” kata istri sembari menggerak-gerakkan badan saya.

Setelah mandi dan salat Asar, saya pun berangkat ke rumah duka. Tidak banyak tetangga yang melayat. Di rumah duka, Pas Priyanto pun bercerita.

“Tadi siang, masih ada. Mang Fulan bilang mau buang air besar. Aku pun membiarkannya buang air. Setelah aku bersihkan, ia minta dibelikan es krim,” cerita Mas Priyanto.

“Kok, es krim?” tanya saya heran.

“Ha mbuh, pokoke kami belikan. Kami berdua dengan Wawa keluar rumah. Nah, sewaktu kami kembali Mang Fulan sudah tiada. Mungkin dia mau ‘berangkat’ diam-diam,” imbuh Mas Priyanto.

Kami pun menghadap Kepala Dusun. Mas Priyanto mengusulkan agar takziah dilaksanakan di musala.

“Ya, nanti sekedar teman minum kita tanggung bersama,” kata saya menambahkan.

Setelah tanah kuburan sudah siap, kami pun memberangkatkan jenazah Pak Fulan menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Tidak ada upacara pemberangkatan jenazah yang formal dan panjang lebar. Pembawa acara hanya mengumumkan identitas jenazah serta waktu dan tempat pelaksanaan takziyah.

Karena lokasi kuburan cukup jauh, keranda kami naikkan ke atas mobil. Saya bersama Mas Priyanto menjaga keranda di atas mobil. Pelayat lainnya ke kuburan naik sepeda motor. Setelah jenazah diturunkan, keranda saya kembalikan lagi ke masjid desa.

Takziah Hari Pertama

Takziah hakikatnya menghibur ahli musibah yang telah kehilangan sanak saudaranya. Lalu, siapa sanak saudara Pak Fulan yang biasa kami panggil Mang Fulan (nama sebenarnya tidak saya ungkap di sini) yang hendak kami hibur? Setahu saya tidak ada saudaranya di sini. Selama ini ia sendirian.

Beberapa tetangga berpendapat, ketika sakit almarhum sendirian. Ketika meninggal pun sendirian. Siapa yang akan mendoakan? Jadi, mari mendoakan almarhum bersama-sama di musala. Saya sendiri mengiyakan. Di dalam lubuk hati, kami pun ingin menghibur mereka yang telah suka rela merawat Mang Fulan hingga akhir hayat.

Ada hal mengejutkan ketika kami berangkat salat Maghrib di musala. Ada dua mobil berhenti dekat rumah Pak Kadus. Beberapa motor dan cukup ramai orang berkumpul di sana. Selidik punya selidik, ternyata mereka adalah rombongan sanak saudara Mang Fulan. Saya tidak tahu siapa yang memberi tahu perihal kematian Mang Fulan. Herannya pula, mengapa tidak dari siang mereka datang. Ah, saya tidak mau mencari tahu lebih lanjut.

Setelah acara berdoa bersama selesai dan salat Isya pun telah kami tunaikan, kami beristirahat sambil menyantap kudapan ala kadar yang dibuat secara gotong royong. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk mengetahui, mengapa Mang Fulan yang saudaranya cukup banyak hidup sebatang kara hingga akhir hayat.

Mang Fulan Ternyata Tidak Sendirian

Saya tinggal di kampung ini sejak tahun 2006. Tidak banyak cerita yang saya tahu perihal sejarah hidup penduduk. Oleh karena itu, saya bertanya tentang kesendirian almarhum ini.

Konon, almarhum Fulan memiliki beberapa suadara. Di antara para saudaranya pun tinggal satu desa di desa kami.

Pada masa dahulu, almarhum Fulan memiliki sawah yang cukup luas. Luasnya setengah bahu, hampir setengah hektar. Karena sesuatu hal, terjadi perselisihan di sawah perihal berebut air irigasi. Menurut sumber cerita, Mang Fulan terlibat perkelahian hingga lawannya tak sadarkan diri hingga meninggal dunia. Agar tidak dibawa ke ranah hukum, terjadilah perdamaian dengan keluarga korban. Syarat perdamaian yaitu sawah yng dimiliki Fulan itu diberikan seutuhnya untuk menghidupi keluarga sepeninggal tulang punggung menghadap Yang Kuasa. Singkat cerita, si Fulan menyetujui. Sawah seluas setengah bahu pun berpindah tangan.

Rupanya, sawah seluas itu adalah harta warisan yang juga hak kepemilikannya juga dimiliki oleh beberapa adik almarhum. Alhasil, saudara-saudara almarhum lainnya membenci dan membiarkan Mang Fulan hidup sendirian, hingga menemui ajal.

“O, begitu ya, Pak,” komentar saya kepada bapak yang bercerita perihal sejarah Mang Fulan tidak diakui dan tidak memiliki saudara lagi. Perbuatan kakaknya yang tanpa kompromi memberikan seluruh hak milik keluarga membuat saudar-saudaranya sakit hati dan menaruh dendam hingga akhir hayat.

Pelajaran Berharga Hari Ini

Peristiwa kematian Mang Fulan dan sepenggal kisah hidup yang diceritakan pada hari ini menjadi pelajaran berharga bagi saya.

Keikhlasan hati mas Priyanto dan teman-teman membantu almarhum Fulan patut diacungi jempol. Pada saat saudaranya tidak ada satu pun yang peduli dan tega membiarkan, mereka mengurus keperluan almarhum Fulan, meskipun sebatas pada waktu siang.

Kepedulian para tetangga memberikan makanan, minuman, dan keperluan lainnya merupakan perbuatan yang harus diceritakan dan diwariskan kepada anak cucu agar mereka tetap memiliki semangat yang sama dengan orang tua atau neneknya.

Jika sepenggal cerita tentang si Fulan itu benar, maka amarah bukanlah jalan menyelesaikan masalah. Sebab, ketika sedang marah akal sehat tersekat. Perbuatan yang dilakukan cenderung menuruti hawa nafsu. Hal itu akan merugikan orang lain yang ujungnya juga merugikan diri sendiri.

Perbuatan saudara Fulan yang jengkel dan tidak senang atas perbuatan si Fulan pun tidak bisa dibenarkan. Memutuskan tali silaturahmi atau silaturahim, menurut ajaran agama adalah perbuatan dosa yang tidak disukai Tuhan. Teman-teman muslim tentu ingat Q.S An Nisa ayat 1.

Yā ayyuhan nāsut taqqū rabbakumulladzī khalaqakummin nafsin wāhidatin wa khalaqa minhā zaujahā wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā’a. Wattaqullāhal ladzī tasā’alūna bihī wal arhām.

Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh Allah adalah Zat yang maha mengawasi kalian.”

(https://islam.nu.or.id/post/read/121584/tafsir-surat-an-nisa-ayat-1–bagian-1-)

Meskipun demikian, perbuatan si Fulan yang tanpa musyawarah dengan saudara lainnya menyerahkan harta warisan seolah harta sendiri juga tidak bisa dibenarkan. Apalagi perbuatan itu hanya untuk menutupi kesalahan yang menjadi tanggung jawab pribadi.

Sungguh, hari ini saya mendapat pelajaran hidup yang sangat berarti.

 

Musi Rawas, 26 September 2021

 

 

 

 

Susanto

Pendidik, Ayah 4 Orang Anak, Blogger, Penikmat Musik Keroncong.

2 thoughts on “Pelajaran Hidup Hari Ini

  • Benar, Omjay. Bergaul dengan baik kepada tetangga sangat penting. mereka yang akan mengurusi kita kelak.

  • terima aksih ceritanya pakde susanto, setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *